Kamis, 08 November 2012

Salah Asumsi Karena Penampilan

Orang-orang selalu salah menafsirkan apa yang mereka lihat. Beberapa orang menilai hanya lewat cara berpakaian dan asesoris yang dikenakan. Itu saja sudah cukup! Kemudian langsung saja berasumsi. Celakanya, hasil hipotesis berpangkal pada teori cetek itu selalu saja salah!

"Kamu orang batak ya?" Tanya seseorang yang saya kenal baru-baru ini.
"Kata siapa, muka gua emang kayak bodat?" Saya balik tanya.
Sahabat saya tertawa. "Bukan itu bang, muka kau persegi alias kotak, kukira kau batak!"
Semprul...



Saya pernah ditanya kenapa saya mengenakan bendo alias blangkon yang kadang malah jadi salah sangka karena saya dikira orang Jawa Tengah.
"Bukan orang Jawa kok pake blangkon mas? Tanya seorang sahabat.
"Emang lu pikir cuma orang Jawa Tengah aja yang punya iket kepala mirip blangkon?" Jawab saya bertanya balik setengah sensi. Payah! Saya mulai berpikir kalau saya salah mengenakan simbol yang harusnya memperlihatkan identitas diri saya.

Tampaknya apa yang kita kenakan juga berpengaruh besar terhadap penilaian orang. Gara-gara pakai rompi coklat dengan kantung disana-sini. Saya pernah diusir oleh satpam perumahan. Ceritanya begini, Saya menunggu sahabat saya dipintu masuk kompleks perumahannya. Tiba-tiba seorang satpam mendekat dan menghardik. "Jangan ngojek disini pak!"
"Saya bukan tukang ojek mas," sanggah saya.
"Lha itu, rompinya!"
"Saya lagi nunggu temen" Jawab saya lagi.
"Alesan, sono pergi! Ojek jangan mangkal disini!" Ujar si satpam tanpa mau melihat alasan saya lebih lanjut.

Pernah saya datang ke kantor istri saya. Baru saja tiba di gerbang depan, seorang satpam menarik tangan saya dan menyuruh saya ke pos. Di pos keamanan itu saya pun ditanyai.
"Mas, saya mau betulin rumah, kira-kira situ selesai benerin lantai atas kapan?"
"Mm...Maaf pak? Maksudnya?" Saya benar-benar bingung.
"Gini, saya mau renovasi rumah. Gimana kalau mas lihat dulu rumah saya ditaksir dulu, kira-kira habisnya berapa. Rencananya saya mau nge-dak juga. Kapan ada waktu?"
Sekarang saya baru mengerti. Mungkin saya dianggap tukang bangunan. Soalnya saya datang dengan sendal jepit dan jaket lusuh. Oh iya, plus topi rimba yang juga bladus. Tampaknya ada bagian di gedung ini sedang direnovasi juga. Jadi pasti si jelek ini mengira saya kuli bangunan.
Lagi-lagi dasar semprul...

Meski demikian, saya tak mau merubah penampilan. Saya suka pakaian yang nyaman. Sementara pakaian paling nyaman ternyata adalah kaos butut dan celana belel. Meski gara-gara itu saya ditahan satpam ketika mau nabung di bank.
"Mau ngapain mas?" Tanya si satpam.
"Yaa mau nabung pak."Jawab saya singkat.
"Oo... Kirain mau ngerampok." celoteh dia seenaknya tanpa memikirkan perasaan saya.
Saya kesal sekali. Apalagi beberapa menit kemudian ala saya duduk menunggu antrean kasir, si satpam dengan ramahnya menyapa seorang pria tua yang mengenakan jas mahal, berjalan sambil memeluk wanita muda berpakaian minim. Lelaki tua itu bicara dengan suara keras dan tidak sopan. Malah tertawa sangat keras yang membuat beberapa orang yang ada disana melirik dengan perasaan tidak suka.

Saya tahu, kebanyakan orang melihat dari penampilan. Seperti halnya ketika saya memasuki toko elektronik dan pramuniaganya menjelaskan pada saya dengan ketus mengenai perbedaan rice cooker dan magic jar. Bukan fungsinya yang saya mau tanya, tapi harganya. Tapi sang pramuniaga itu melayani seorang bapak berkemaja dan berdasi dengan ramah meski hanya membeli sebuah tespen. Aih, dasar orang Indonesia!

Tulisan ini bisa diartikan saya sirik! Oke, puas! Buat orang-orang di Cibitung yang masih minta jimat dan pengasihan gara-gara liat saya pake blangkon dan mirip dukun. Silahkan antre di ruang tunggu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar