Senin, 26 Maret 2012

Revisi Spanduk


Pertengahan Maret 2012 ini banyak demonstrasi soal harga kenaikan bahan bakar yang katanya bakal naik sebentar lagi. Tak ketinggalan kawan sayah si Jujun tukang warung yang spesialis juga tukang demo ikutan turun ke jalan bawa spanduk bertuliskan : Turunkan premium. Saya yang kebetulan sedang di lokasi demonstrasi jadi bingung melihat tulisan spanduk si Jujun.

"Jun, kok turunkan premium?" Tanya saya.

"Maksudnya bengsin kang! masa gitu aja bingung," jawab si Jujun.

"Premium kan artinnya bukan bensin Jun!"

"Masa sih kang? Kalo gitu harus saya rubah spanduknya." Kata si Jujun. Setelah wara-wiri mencari spidol, akhirnya spanduk karton si Jujun jadi bertuliskan: Turunkan premium! (maksudnya bensin premium)

Saya yang tidak sreg melihat tulisan di spanduk si Jujun jadi komentar lagih. "Jun, memangnya cuma bensin premium yang turun? Kalau Pertamax gimana? Belum lagi gas melon tiga kilo?"

"Waduh, si akang mah. Kenapa gak bilang dari tadi atuh!" Akhirnyah spanduk si Jujun pun kembali direvisi. Sekarang tulisannya menjadi : Turunkan Premium! (maksudnya bensin premium) Pertamax sama gas melon & elpiji juga!

"Gimana kang, udah sip belum?" Tanya Jujun sambil nyengir-nyengir gak jelas.

"Kok jadi acakadut beginih sih? Teorinya begini Jun, spanduk kamu teh harus komunikatif!"

"Gimana atuh? oh, tulis aja jangan naikkan BBM yah kang?" si Jujun kini garuk-garuk kepala kayak orang bingung.

"Tetap aja ga komplit Jun. Namanya BBM pasti berimbas pada kenaikan sembako, kenaikan harga angkot atau ojek, malahan sampai kenaikan celana kolor." Demikian sayah menerangkan.

"Mmm... begitu ya kang, kalau gitu gini aja deh."Ujar si Jujun mengagguk entah ngerti atau enggak.

Kertas karton spanduk pun dibalik. Dengan mantap si Jujun mulai menuliskan kata-kata baru di kertas yang masih kosong itu. Hasilnya:

"JANGAN NAIKKAN HARGA APAPUN DI MUKA BUMI INI!"

"Gimana kang, akur enggak?" Ujar si Jujun tersenyum bangga melihat tulisan di spanduk.

"Sip lah, berarti kalau gua belanja di warung lu harganya jangan dinaikin yak!" Ujar si gueh tersenyum senang.

"Waduh!" Si Jujun tampak panik, lalu si spanduk kembali ditulisi spidol lagi.

Hasilnya:

"JANGAN NAIKKAN HARGA APAPUN DI MUKA BUMI INI"

(Warung saya terkecuali)

(Kang Ngozi/Blogspot)


Foto courtesy: http://img.antaranews.com/new/2012/03/ori/20120302DemoBBM010312-4.jpg (foto milik Antara Sumut)

Jangan Cuma Kutip Ayat!


Akhir-akhir ini banyak sekali yang mengutip ayat Qur'an atau hadits sekadar untuk status pesbuk, twitter, bahkan Blackberry Messenger. Dengan alasan yang sangat mulia, "Sebarkan walau hanya satu ayat."

Ih jujur saja, saya bukannya mau usil. Tapi rasanya ada kaidah lain untk menyebarkan kebaikan kitab, sunnah, ataupun hadits yang dikutip dan disebarkan via social network manapun. Sudahkah yang mengutip kalimat mulia itu mengamalkan apa yang dikutipnya?

Jujur saja deh, sebagian besar penulis pesan mulia itu belum tentu bisa atau dapat mengamalkan nilai yang terkandung dalan tulisannya. Jika demikian yang berlaku, maka bagaikan tong kosong nyaring bunyinya. Aih maaf, kok kayaknya kejam sekali ya? Maksudnya disini hanya sekedar mengingatkan.

Berarti kalau gitu kita tak akan bisa 'berkata' atau mengamalkan kebaikan dong? Haih kata siapa? Naif sekali seperti lagu posesif. Menurut saya pribadi, ada cara lain mengatakan ayat kebaikan selain mengutipnya secara langsung. Katakan sesuatu yang pernah anda alami atau lakukan. Selebihnya, jangan mengatakan hal yang anda belum mengerti dan menerka berdasarkan logika manusiawi. Akan terjadi salah persepsi jika ilmunya saja tidak anda kuasai. Jikalau bukan pakarnya, tunggu saja kehancurannya. Kecuali anda spesialis tukang merubuhkan bangunan.

Sahabat saya Pakde Warman pernah berkata begini. Dunia sangat luas, ditopang oleh tangan-tangan kecil yang memiliki fungsi tersendiri. Jikalau tangan kecil itu adalah individu, maka ada tugas dan fungsi yang diemban oleh tangan-tangan itu. Ada tangan spesial pegang palu, ada yang pegang gergaji, mungkin ada juga yang pegang duit. Semua sudah ada bagiannya. Seperti ada tangan yang spesialis pegang Qur'an, atau spesialis pegang catatan togel.

Saya bertanya pada yang lebih tahu, katanya: Manusia lebih melihat bahasa gestur dibandingkan bahasa verbal. Awalnya saya bingung, Kok bisa? Kata Pakde, seseorang akan bertanya soal bikin kusen pada sang spesialis pegang palu. Ketika seseorang yang biasa pegang komputer ngomong soal pekerjaan perkayuan, pastinya tidak akan digubris. Ih dasar manusia nyak!

Intinya sih: Kalau orang lain melihat kita jumatan atau pegang Qur'an saja tidak pernah, bagaimana pula dia percaya ketika kita bicara Firman Allah SWT? Mungkin begitu kali yaa...

Eh jangan karena tulisan ini berarti anda urungkan niat untuk menyebarkan kebaikan lewat jejaring sosial. Enggak kok, tuliskanlah ayat bagus itu dengan catatan sudah anda amalkan. Maksud saya disini jangan asal 'Omdo' alias omong doang! Sebarkan karena anda telah membuktikan! Bukan disebarkan dengan niatan agar dinilai alim atau hanya sekadar Riya.(Kang Ngozi/Blogspot)

Selasa, 13 Maret 2012


Ternyata bikin jemuran teh gampang-gampang susah. Gampang, karena cuman bikin tiang dikasih palang dan ditancep ke tanah, kasih tali dan olala... Sebuah jemuran pun siap dihidangkan (lu kata makanan apa!). teknisnya mah, ternyata tidak seperti ituh.

Bayangkan coba. Peluh si sayah bercucuran waktu ngangkat kayu balok . Capek setengah mati waktu menggergaji tuh kayu. Malahan sempat pingsan tak sadarkan diri waktu membuat palangan kayu berbentuk menyerupai salib. Pasalnya jempol kesayangan tak sengaja terkena hantaman palu godam dan seketika daku menjerit. Saat itu juga langit berwarna merah, bumi retak dan terdengar suara angin ribut... (terlalu dramatis kali yak, sori atuh)

Tapi sayang seribu sayang, tiang jemuran sudah selesai ditancapkan ketanah, malahan dikasih adonan semen dan pasir (sebenarnya dikasih sedikit vanili dan telor satu butir), tiang tak juga tertancap kuat. Digoyang sedikit, langsung saja roboh. Atas hasil pemikiran saya yang berintelejensi tinggi, jenius, sehat dan rajin menabung ini, tiang jemuran tidak kuat berdiri karena dudukan tiang bukanlah tanah. Melainkan puing-puing batu dan jelas tak kuat menahan beban tiang yang berat.

Sang jenius pun duduk termenung di depan pagar sambil memikirkan langkah yang harus ditempuh agar tiang jemuran bisa berdiri kuat. Saat itulah Si Asep tukang es doger lewat di depan si ganteng ini.

"Kenapa kang? kok ngalamun wae?" sapanya sambil menepuk bahu sayah.

"Gak bisa diri sep, kumaha atuh," ujar saya menjawab dengan tatapan meratap yang anggun.

"Makanya kang, coba minum Irek, kalo enggak aladina kapsul. Kalo gak bisa diri juga coba ajah ke On Klinik!"

"Hah?"

Mas Slamet

Mas Slamet adalah mahluk Tuhan dari daerah Slawi yang berprofesi sebagai koki martabak manis dan telor, salah satu sahabat karib terbaik yang saya miliki. Bakat masak dan selera kulinernya terhadap masakan Indonesia benar-benar luar biasa. Terlebih dari itu,dia adalah salah satu mahluk setres yang paling nyambung dengan saya.

Suatu hari saya pernah menggoda mas Slamet yang sedang asyik membanting-banting adonan terigu untuk membuat martabak telor. "Mas... kalo dagang jangan marah-marah terus! ... kasian dong adonan disiksa begitu. Dikepel-kepel, dibanting-banting, udah gitu digoreng lagi pake minyak panas!"

Tukang martabak itu malah ketawa. "Justru saya banting-banting ini adonan biar dia badannya enakan kang. Tadi dia bilang ma saya, badannya pegel. Tau masuk angin, tau apa... Jadi saya pijet biar dia enakan. Udah gitu kan biar bersih saya mandiin pake minyak panas. Saya orangnya baik kaaaan.."

Pernah ketika mencoba motor Honda Grand yang baru dibeli, Slamet tak sengaja menabrak angkutan kota. Ketika saya tanya kenapa dia bisa nabrak angkot, slamet malah marah-marah.

"Salah angkotnya tuh. Kenapa dia parkirnya di pinggir jalan? coba dia parkirnya di Ramayana (swalayan). Kan saya jadinya gak nabrak dia. Iya kan?"

Suatu hari saya berkunjung ke rumah si Tukang martabak. Dia langsung inisiatif memberikan suguhan.

"Ni kang, kopine. Mau ngerokok juga boleh."

"Mana kopinya mas?" Tanya saya bingung. Mata saya kan engga katarak, udah jelas yang dibawanya cuma air putih."

"Ya ini," kata dia sambil menunjuk air putih.

"Itu mah aer putih atuh mas!"

"Ini kopi kang, cuma udah saya saring. Situ kan tamu. Masak tamu saya suguhin kopi item jelek begitu. Biar gak item mangkane saya saring. Ya ini jadinya!"


Tribute to Sodikin alias Mas Slamet!

Minggu, 11 Maret 2012

Sahabat Aneh yang Baik

27 Februari 2012

Terakhir begadang bersama sahabat saya Yaya adalah malam yang tak pernah terlupakan. Bukan sekadar nongkrong karena iseng, Yaya yang memiliki toko reparasi dan jual beli komputer meminta bantuan saya untuk membetulkan sejumlah CPU milik pelanggannya. Saya tentu saja bersedia, karena imbalannya lumayan untuk nambah-nambah uang saku. Karenanya, saya datang ke toko komputer miliknya yang juga merangkap sebagai warnet.


28 Februari 2012

Sekitar jam 19.00 WIB, vespa yang saya kendarai parkir dihalaman ruko. baru saja datang, sudah disambut oleh gurauan Pakde Warman dan Johan yang kebetulan sedang ada di beranda toko. "Si Jalu gak ngadat tuh di jalan?" Gurau Pakde Warman. Si Jalu adalah nama yang Vespa jenis P150X milik saya. Sekadar tambahan Jalu sendiri singkatan dari 'Jaman Dulu.'

"Gak dong Pakde, Si Jalu mah gak ada matinya!" Demikian jawab saya.

"Asal sampai sini jangan tinggal setang saja bang, onderdilnya berantakan di belakang. Ha ha ha..." Komen si Johan yang langsung saya balas dengan pose mulut manyun.

"Bos komputer udah nunggu tuh," tambah Pakde Warman.

"Siap!" Saya pun masuk ke dalam toko.

Suasana toko komputer Yaya saat itu lebih mirip kapal pecah. Dus-dus berserakan di lantai. Isinya? Apalagi kalau bukan spare part komputer. "Nih toko apa isi kapal Titanic?" Komentar saya pada Yaya yang tampaknya sibuk dengan kertas catatan di tangannya.

"Eh Kang Cepod, lagi data barang nih!" Ujarnya sambil garuk-garuk kepala dengan pensil.

"Jatah gawean gue yang mana Ya?"

"Anu kang, tolong cek motherboard sekenan tuh. Udah saya tumpuk deket meja!" Ujarnya sambil menunjuk dua dus besar tepat disamping meja reparasi. Lagi-lagi dengan pensil.

"Ok!"

Setelah menggantung jaket, menyimpan tas dan buang air besar, barulah saya mengerjakan pekerjaan bagian saya. Saat itu Si Johan sudah sibuk memindah-mindahkan sejumlah barang. Yaya sibuk dengan catatannya sambil sesekali menghitung sejumlah barang tertentu. Sementara Pakde Warman membuatkan kopi untuk kami, setelahnya malah mengomentari berita di televisi mengenai kasus korupsi. Yang jelas, semua sibuk.

Selesai mendata barang, Yaya turun membantu pekerjaan saya. Si Johan sibuk main catur dengan pakde sambel ngobrol ngalor-ngidul.

29 Februari 2012

Baru pukul 03.00 pagi, kami bersama sejenak. Itu pun terpicu gara-gara ada tukang nasi goreng lewat. Sambil makan nasi goreng bersama kami duduk di beranda toko. Suasana jalan saat itu memang sepi. Jadi bisa ngobrol santai. Pasalnya kalau siang hari, jalan di depan toko lumayan rame, jadi ngobrol pun harus agak berteriak.

Obrolan kami berempat seperti biasa selalu penuh canda. Hingga entah bagaimana, berujung pada obrolan serius. Mulanya sih ngobrolin cita-cita yang jauh dari pekerjaan sekarang. Pakde Warman bercerita, ketika kecil bercita-cita menjadi penyanyi atau seniman seperti idolanya: Said Effendi dan Sam Saimun.

"Entah bagaimana saya kok malah jadi bekerja di pabrik kopi. Padahal kalau saya jadi penyanyi, saya pasti lebih terkenal dibanding Broery!" cerita Pakde yang kami timpali dengan tawa.

"Wah Pakde, kalau jadi artis, manapula ketemu saya dan main catur!" ujar Johan terkekeh.

"Hahaha, bisa aja kamu Jo. Kamu sendiri gimana?" Tanya pakde.

"Waduh bagaimana ya. Tapi janji jangan tertawa kalian ya!" Ujar Johan sambil mendelik ke arah saya. Maklum, saya adalah orang yang paling sering beradu ejekan dengan mahluk asli Medan itu.

"Cepetan napa Jo!" Saya sambil menyeruput teh manis hangat.

"Aku ketika kecil ingin kali jadi pengacara seperti ...." Belum selesai dia bicara, kami bertiga sudah terkikik.

"Heh macam mana malah ketawa sih? Aneh ya?"

"Bukan aneh Jo, orang Batak udah banyak yang jadi pengacara tauk!" kata si Yaya.

"Tau ah, pasaran bener sih!" tambah saya yang di balas dengan lemparan kertas tissue makan bekas pakai oleh si Johan.

"Gapapa Jo, bagus kok!" Pakde menepuk bahu Johan.

"Ingin kali aku jadi pengacara terkenal macamnya Adnan Buyung itu pak! Jadi pembela kebenaran lah, hahaha."

"Pembela kebetulan kali?" ejek saya lagi.

"Pengen kali sekolah hukum, soalnya zaman sekolah dulu sering dihukum. Hahaha," Johan ngakak.

"Walah pengacara kok sekolahnya banyak dihukum. Bandel kali ya? Kalau Yaya pengennya apa?" Tanya Pakde. Yaya menarik napas sejenak. "Tak ada pekerjaan yang saya cita-citakan Pakde." Jawabnya.

"Lho kok macam begitu?" Johan garuk-garuk kepala."

"Bukan gitu Jo. Pekerjaan apapun gak masalah deh. Yang jelas cuma pengen kerja apa saja asal penghasilannya halal. Nikah dan punya istri yang baek dan punya anak. Meninggal dan punya warisan untuk anak cucu!" Ujar Yaya dengan wajah serius.

"Enteng benar cita-cita kau!" kata Johan sambil menyalakan sebatang rokok.

"Salah Jo! itu malah sulit!" Sanggah saya.

"Kok bisa? Semua orang kan bisa seperti itu." Si Jo mengerutkan dahi.

"Wah Jo kita gak bisa liat masa depan dong! Kita gak bakal tau Jo. Apa bisa menikah atau tidak. Kita juga gak bisa tahu, bakal punya anak atau tidak. Kita gak tahu, bakal punya harta untuk diwarisin apa enggak. Malah gak akan pernah tahu, meninggal di usia tua atau muda!" Terang saya yang dijawab anggukan oleh Pakde Warman.

"Saya setuju Kang, bisa dibilang cita-cita mas Yaya ini seperti sepertine menggambar bebas di kertas takdir. Tapi takdir kan digariskan oleh hukum sebab akibat yang manusia perbuat. Ibarat lukisan van Gogh, sesaa seperti lukisan biasa, namun ternyata bernilai lebih dari yang manusia bayangkan." Jelas Pakde Warman.

"Ah pakde, pakai bahasa yang tidak bikin kepala pening dong!" Johan garuk-garuk kepala lagi.

"Bukan gitu Jo, menurut gue. Kehidupan ideal buat gua pribadi tuh kayak gitu. Makanya jadi cita-cita. Eh kok malah jadi ngebahas cita-cita gua sih?" Yaya kini mulai menepuki nyamuk yang mendarat di tubuhnya.

"Habis gak umum bos!" ungkap Johan terkekeh.

"Yaa gitu deh, kalau Akang?" Tanya Yaya sambil menoleh pada saya.

"Cita-cita sekarang apa waktu dulu kecil?"

"Waduh, curang! Kok dua sih?" Protes Johan.

"Biarin!" Saya mencibir si Batak itu.

"Waktu kecil dulu deh, sampeyan pengen opo?" tanya Pakde.

"Dulu waktu kecil, saya pengen banget punya restaurant atau kafe sendiri."

"Kalau sekarang Kang?" Tanya Yaya.

Saya menarik napas sejenak. Sulit sekali mengatakan hal ini dihadapan sahabat-sahabat dekat saya itu.

"Wooooi, naek ojek dong biar cepet!" Ujar Yaya tak sabar.

"Kalau sekarang, cuma berharap jangan mati dulu sebelum bisa membahagiakan orang yang saya sayang!" Ungkap saya serius.

"Hey Kang, jangan pesimis gitu dong. Biarpun punya penyakit jan...." belum selesai Johan bicara Yaya sudah menimpalinya.

"Kalau saya pikir sih umur di tangan Tuhan Kang. Kita gak akan bisa tahu kok. Bisa jadi malah si Johan duluan, atau saya. Hahaha..." Ujar Yaya tertawa. Mungkin untuk mencairkan suasana.

"Setuju tuh mas. Tapi menurut saya pribadi, Akang kita ini manusia tangguh yang menertawakan dunia. Jujur saya salut sama Mas Yaya dan Kang Cepod. Pemikiran kalian ndak cocok untuk zaman ini. Saya pribadi seumuran sampeyan ndak kepikiran sejauh itu lho." Kata-kata Pakde ini saya anggap sebagai pujian tersendiri walau jujur saja, rasanya seperti ditaksir terlalu tinggi. Yaya mengernyitkan dahi, saya tahu, mungkin dia berpikir hal yang sama seperti saya.

Usai mengobrol dan bercanda. Pakde Warman pamit pulang. Rumahnya kebetulan bersebelahan dengan Toko komputer Yaya. Si Johan sendiri malah selonjoran di kursi, dan tak lama ngorok sambil dibuai mimpi. Hanya saya dan Yaya yang masih meneruskan pekerjaan reparasi. Biar sibuk dengan pekerjaan masing-masing, kami ngobrol santai sekadar menghilangkan ngantuk.

Saat itu tiba-tiba Yaya mengajukan pertanyaan serius. "Eh, menurut akang saya orangnya aneh enggak sih?"

Saya menarik alis ke atas, lalu menyimpan solder uap yang ada di tangan saya. "Emang kenapa?"

"Ah enggak cuma pengen tahu!" Ujar Yaya menatap saya serius.

"Apa Ya? Yang jelas aneh atau tidak, lu temen gua yang baik kok" Jawab saya.

"Masa sih?" Si Yaya tertawa.

"Kalau gak percaya belah aja dada si Johan!" Tambah saya. Si Yaya tertawa terbahak.

"Ngapain dada si Johan pake dibelah, mendingan belah dada ayam, terus digoreng. kan enak tuh."

"Lagian kenapa lu nanya kayak mau nembak cewek aja. Maaf gua gak homo! Lagian gua udah punya istri!" ungkap saya.

"Makasih kalau serius mah. Akang juga sohib aneh yang baik. Hahaha..."

Kami pun melanjutkan pekerjaan kami. Setelah shalat subuh, Yaya sudah meluruskan tubuhnya di atas alas kardus. Saya sendiri juga melakukan hal yang sama. Tas yang saya bawa sengaja saya jadikan bantal.

"Kang..!" Panggil Yaya.

"Hmmm... Berisik ah! molor aja deh!"

"Enggak, kalau di kira-kira yang meninggal duluan saya apa Akang ya?" Tanya Yaya lagi.

"Ngapain dipikirin sih, itu mah urusan gusti Allah laah." Ujar saya.

"Ah enggak sih cuma penasaran." Tambah Yaya. Saya tak lagi mendengar pertanyaan Yaya yang lain, saya sudah terlelap.

11 Maret 2012

Suasana Taman pemakaman umum di daerah Perwira Bekasi dipenuhi oleh sejumlah orang berwajah muram dan sedih. Saya juga disana, berdiri memandangi gundukan tanah dan nisan di areal pemakaman. Di Nisan tersebut tertulis: Innalillahi wa inna Ilaihi raaji'uun. Yahya Suryapranata, Garut 17 Juli 1980 - Bekasi 11 Maret 2012.

Disamping saya, Johan menitikkan air mata. Kemudian dia menyalami sejumlah kenalan dan sahabat. Tepat disebelah saya Pakde Warman, dia menepuk bahu saya sambil
bibirnya berkomat-kamit. Mungkin dia sedang berdoa.

"Saya gak pernah nyangka lo Kang. Mas Yaya meninggal secepet ini. Kecelakaan motor lagi. Qodho dan Qodarnya Allah." Ujar Pakde Warman. Saya hanya diam saja. Perlahan mata saya terasa panas dan berair. Dalam hati saya mengucapkan doa. Semoga Allah memberikan tempat yang baik bagi Yaya.

Sebelum pergi, kata hati berbisik lirih. "Selamat tinggal sahabat baik yang aneh! Mungkin kita akan bertemu lagi. Mungkin esok atau entah kapan!"



In Memoriam: Yahya Suryapranata.