Sabtu, 10 Mei 2014

Persona

Topeng adalah benda seni yang biasanya digunakan oleh penari ketika tampil dalam pementasan. Biasa juga digunakan oleh aktor dalam pementasan drama semisal Kabuki. Bisa jadi mainan anak-anak yang berperan dengan hati karena "wanna be,"  alias ingin jadi sehebat yang digambarkan topeng yang dikenakan. Well itu kalau kita bicara benda.

Tanpa harus mengenakan topeng yang sesungguhnya, dalam sehari-hari manusia kerap mengenakan persona yang berbeda. Topeng yang tak kasat mata. Indikatornya apa? tingkah laku dong! Kalo dalam bahasa betawi lagu lu. Di lingkungan kantor terlihat alim, tapi di pos ronda ngomongnya bocor. Bicara dengan bawahan terlihat berwibawa namun jadi 'gila' ketika bertemu teman satu tongkrongan.


Berapa topeng yang biasanya anda kenakan?

Jujur deh, kadang topeng tak hanya satu. Di tempat kerja kerja tak banyak omong, pendiam dan penurut. Di rumah menjadi bawel dan sering marah-marah. Di tempat tongkrongan sikapnya jadi humoris dan senang guyon. Di lingkungan kompleks terkenal sebagai dermawan dan aktif dalam kegiatan sosial. Tuh kan... Tanpa sadar banyak sekali piala Citra yang harus dibagikan. Diketahui atau tidak, sengaja maupun tak sengaja, seseorang telah memainkan peranan.


Mengapa Kita Bersandiwara?

Ingat lagunya Ahmad Albar?

Dunia ini, panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah.
Kisah Mahabrata, atau tragedi dari Yunani.
Setiap kita, dapat satu peranan. yang harus kita mainkan.
Ada peran wajar, dan ada peran berpura-pura.
Mengapa Kita, bersandiwara?

Yak... dari bait di atas ketahuan kalau peranan alias persona ada dua. Yang disengaja dan yang tidak. Kalau tidak disengaja biasanya perannya yaa wajar-wajar saja. Atau biasanya peran yang terbawa oleh lingkungan sekitar. Di Majlis Ta'lim bicaranya selalu membawa dalil, dan tak segan memberi nasehat. Namun ketika tiba di jalan, cuma gara-gara liat-liatan sama pengemudi motor sport yang memainkan handel gas digerung-gerung maka langsung saja balapan. or worse... Hanya gara-gara pinjam motor Kawasaki Ninja 250cc lampu merah sih diterabas. Alasannya kadang tak masuk akal. Bawaan motor nih!, katanya.

Bagaimana jika topeng yang sengaja dibuat? Ahh... Itu biasanya karena pencitraan. Mulanya sih pasti tidak begitu. Awalnya juga karena terbawa oleh situasi. Biasanya karena status sosial, atau pangkat alias jabatan. Karena bekerja sebagai ustadz, maka ketika didepan orang-orang terlihat alim. tapi begitu tak dilihat orang dia naik motor di jalan kecil yang penuh anak-anak saja bisa kebut-kebutan 100 Km per jam.

Pencitraan bisa juga ditujukan untuk meraih massa, mempengaruhi orang untuk mencapai tujuan. Kadang kala dipergunakan karena takut dan sembunyi. Atau bahkan lebih buruk! Menipu! tipe yang paling dibenci dalam Islam alias munafik. Semua berasal dari satu sumber. Kebutuhan lah biang keroknya. Kalau diibaratkan seperti jalan-jalan di pasar malam dan tak sengaja melihat baju bagus dan keren. Karena naksir dan menginginkan benda itu, maka uang makan selama sepekan pun dikorbankan. Hal ini karena apa? Yaa... karena merasa baju tersebut menjadi kebutuhan yang prioritas. Dimulai dari panca indera dan teruskan sebagai nafsu.

Manusia kadang tak realistis. Menginginkan kesempurnaan dari dunia yang notabene tiada sempurna. Contoh lain, Seorang sahabat wanita mengeluh karena suami yang dinikahinya selama empat tahun ternyata menunjukkan diri yang sebenarnya.

"... Semua yang saya benci dari pria ternyata ada dalam suami saya. Waktu pertama kali pendekatan dan pacaran dia romantis. Berdandan ala eksekutif muda dan rapi. Setiap ketemu saya rambutnya basah dan wangi parfum musk. Sekarang, setiap keluar dia berdandan dengan baju belel dan yang nyebelin ada sisir nongol dari saku belakang kayak mas-mas yang suka nonton konser dangdut. Sekarang dia mandi pun jarang dan setiap keluar cukup pake Trika pelicin pakaian yang biasa saya gunakan ketika menyetrika. Dulu rajin ibadah, sekarang lebih rajin nongkrong sama teman-temannya nonton bola atau main gadget. Sebel. Coba waktu pacaran dulu saya tahu..."

Lagunya Andra and The Backbone yang judulnya Sempurna? Lupakan saja! Karena kesempurnaan lahir dari menerima ketidak sempurnaan. Jika anda masih ingin kesempurnaan, sana ke warung beli Sampoerna kretek, Dji Sam Soe, atau A Mild!

Perlukah Mengenakan Topeng?

Semua dikembalikan kepada pembaca. Jika ada yang merasa topeng ini berguna, yaa silahkan saja. Atau merasa ditipu oleh kepura-puraan dan menginginkan kebenaran, ow ya monggo wae. Mungkin sudah bosan anda membaca atau mendengar ini tapi, be yourself atau jadi diri sendiri itu lebih bijaksana. Nilai yang didapat dari pencitraan itu akan menjadi beban di kemudian hari, meskipun itu untuk tujuan baik atau buruk. Karena topeng yang sengaja dibuat itu sama dengan berbohong. Sekali kita berbohong, maka akan ada dusta lain untuk menutupi yang pertama. Face the truth... Maukah anda berbohong untuk selamanya?

Ingat Lagu Dewi Yull sama Broery Marantika. Jangan ada dusta di antara kita!

Senin, 21 April 2014

Gangguan Kecil di Soetta

Istri saya pergi dinas ke luar kota selama tiga hari. Sebuah rutinitas kerja dan resiko kalau jadi pegawai negeri sipil di departemen manapun. Makanya sore itu saya mengantarkan istri saya ke Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta.

Selesai berpesan jangan ini dan itu, dengan berat hati saya melepas kepergian sang istri. Memandangnya pergi dan menghilang dibalik kerumunan orang di pintu masuk penerbangan. Sedih sih, tapi sekarang saya harus pulang.

Pilihan transportasi umum dari Bandara memang bervariasi. Bisa saja naik bus Damri menuju berbagai arah, naik taksi, juga travel car. Bahkan transportasi yang tak anda duga. Ojek!

Singkat cerita, saya memilih naik taksi saja. Memang harus merogoh kocek lebih dalam, tapi setidaknya cuma sekali naik dan sampai ke rumah. Hanya saja bagi siapapun yang hendak naik taksi, waspadalah. Cari taksi yang benar-benar resmi. Jangan sampai naik taksi abal-abal yang tidak jelas. Memang sih gak perlu antre. Tapi dijamin bakal lebih mahal dari taksi resmi. Percayalah!

Setelah pesan taksi, ternyata antrean saya lumayan menyebalkan, delapan. Itu pun harus menunggu taksinya masuk. Sambil duduk dan bermain-main dengan hape, saya pun menunggu taksi saya. Belum berapa lama saya duduk, seorang pria berjaket hijau tentara mendekat dan duduk di samping saya.

"Parfum mas!", katanya sambil mengeluarkan kotak parfum besar merk Bvlgari.

"Hah?" Saya agak kaget

"Ini Lho, coba dulu aja parfumnya, wanginya enak nih." Katanya lagi.

"Apa? Enggak mas, saya gak pake parfum gituan," ujar saya sedikit geli. Wah dia gak mikir ya? Di botolnya aja tertulis for women alias buat cewek.

"Murah kok!" Ujarnya sambil menyorongkan box parfum itu pada saya.

"Wah enggak mas, makasih deh. Coba tawarin ke ibu-ibu atau mbak-mbak lain, siapa tahu ada yang mau." Ujar saya sambil menunjuk tulisan for Women di boks parfum.

Pria itu pun tersenyum lalu pergi. Saya cuma menggeleng dan merasa aneh. Terus terang selama hilir mudik main ke bandara. Baru sekarang ada yang seperti ini.

Baru semenit saya asik berkutat dengan game di hape saya, datanglah seorang wanita setengah baya duduk di samping saya.

"Permisi pak, siapa tahu minat. Saya jualan hape BlackBerry tipe baru lho. Murah kok! cuma sejutaan aja."Ujarnya sambil memperlihatkan isi tas jinjingnya. Dan memang saya lihat ada tiga kotak hape yang bersegel plastik.

"Wah makasih bu, saya..."

"Mau yang mana? tipe apa? saya terima transfer atm kok!"Ujarnya sambil menaruh kotak hape itu di pangkuan saya.

"Wah saya punya hape kok, makasih deh." Ujar saya sambil mengambil kotak hape itu dan meletakkannya kembali ke tasnya.

"Ayo pak, boleh dibuka dan dicoba kok!" Ujarnya lagi. Jujur saja, wanita ini memang cukup gigih. lebih dari sepuluh menit dia berjuang menawarkan dagangannya. meski akhirnya dia menyerah tanpa permisi begitu melihat ada pria muda berpakaian dandy yang duduk tak jauh dari saya. Jujur, saja rasanya ingin berterima kasih pada orang itu, namun melihat penderitaannya yang bingung saat di'serang' oleh si wanita dan dagangannya, saya kasihan juga sih.

Tak berapa lama datanglah pria yang tadi menawarkan saya parfum. Kali ini dia membawa dua kotak parfum. Aigner Black dan Jacomo.
"Nah kali ini buat cowok mas, tadi sih saya salah bawa," katanya tersenyum bangga.

Men!Jujur yang ini bikin saya menyeringai geli.

"Mas, coba tawarin parfum ke orang itu tuh!" Kata saya sambil menunjuk seorang pria yang berdiri sambil memegang tablet phone.

"Lho kalo mas kenapa memang?"jawabnya bego.

"Duh mas, liat aja saya. Saya bukan tipe laki-laki dandan kan? Kalau yang itu beda!" Ujar saya menunjuk pria dengan tab yang memang berpakaian necis. Kemeja ketat ala metrosexual, serta mengenakan skinny jeans.

"Coba deh!" saya menyarankan lagi. Sang pria itu mengangguk, kemudian menghampiri orang yang tadi saya tunjuk.

Baru selesai satu, si perempuan bertas jinjing penjual hape itu datang lagi ke saya.

"Nih pak, saya lihat kayaknya situ gak suka BB, jadi saya bawakan android tipe baru. Coba deh dilihat, barangnya ok punya kok." Katanya dengan wajah berapi-api, dan saya pun langsung tepok jidat.

"Aduh, mbak! coba lihat saya deh. Tampilannya aja kayak gini. Memangnya dari tampang saya kelihatan kayak yang sering gonta-ganti hape gituh?"

Wanita itu pun kini memandangi saya dari ujung rambut sampai ujung sendal. "Enggak sih," jawabnya.

"Tepat! jadi biar dagangannya laku mbak musti pinter pilih target." Jelas saya berlagak seolah konsultan marketing papan atas. Lucunya, si mbak ini bengong dan mendengarkan dengan seksama.

"Nih ya, lihat ibu-ibu disana yang pake anting besar dan pakai baju loreng kayak trio macan itu?" jawab saya menunjuk seorang ibu dengan troli yang sedang antre beli roti Papabunz.

"Saya yakin, dari gelagatnya, pasti dia ibu-ibu gaul tukang belanja yang sering gonta ganti hape. Coba deh tawarin. Moga-moga aja beruntung," ujar saya meyakinkan.

Wanita bertas jinjing itu pun segera meluncur seperti rudal ke arah wanita yang tadi saya tunjuk. Masih tanpa permisi juga. Tapi setidaknya saya bernapas lega. Gangguan sudah hilang sekarang. Dan kabar baik lagi, porter taksi memanggil saya, karena tumpangan saya sudah datang. Saya pun bangkit dan melangkah menuju kendaraan yang akan ditumpangi. Namun baru dua tiga langkah, pria penjual parfum itu tahu-tahu ada di depan saya.

"Sukses mas, dia beli satu. Kira-kira yang mana lagi ya yang suka parfum?" Ujarnya sambil cengengesan. Aduh, saya pun tepok jidat.

"Coba bapak yang pake jam mahal tuh," kata saya menunjuk seorang bapak yang sedang baca koran depan rumah makan junkfood A&W.Dan tanpa komando lebih lanjut pria itu menuju orang yang saya maksud.

Saya pun melangkah naik ke taksi sambil dicengirin sang porter taksi yang cekikikan bareng temannya. Baru saja saya mau naik ada suara keras yang membuat saya memalingkan wajah ke arah suara itu.


"Hati-hati di jalan ya pak!" Teriak si ibu bertas jinjing sambil mengacungkan jempol. Saya melambai sambil garuk kepala.

"Petukangan ya pak," kata si porter mempersilahkan saya masuk ke taksi.

"Oya..."

"Tadi banyak gangguan ya pak," Ujarnya sambil tertawa. Rupanya dia sedari tadi mungkin memperhatikan saya.'

"Ah engga, cuma buka praktek konsultan gratis," jawab saya.

Si porter terkekeh sambil menutup pintu mobil (Abah Ozi/4/2014)

Jumat, 29 November 2013

Dilema

Aku berdiri di antara mimpi dan realita. Aku melangkah di antara Jalan berduri dan beraspal. Menggeliat dan mengerang pada sifat dasar manusia yang paling membuat celaka. Lupa! 

Kini aku dihadapkan pada penentuan dengan waktu terbatas dan mencoba untuk memilih. logika atau mimpi? kuning atau putih, keinginan atau ketersediaan. 

Logika manusia selalu memilih kenikmatan duniawi. Sementara batin menjerit menginginkan kejujuran. Semua manusia mengalami hal ini. Memilih, adalah hal yang sulit. Selalu saja ada batas waktu, layaknya mengerjakan soal pilihan ganda ketika ujian sekolah. 

Kini harus diputuskan, tak bisa menunggu lebih lama. Dan aku terdiam dalam gundah. Terombang-ambing antara realitas dan mimpi. 

Baik. Ini faktanya: Uang di saku celanaku tinggal tujuh ribu rupiah. Cukup jika makan mi ayam satu mangkok. Pilihan lain adalah nasi warteg dengan lauk cukup sayur mayur tanpa ayam atau daging. 

Bahayanya, mataku keburu kepincut rendang dan ayam gulai yang nangkring di etalase warung nasi Padang, dengan resiko buru-buru cari teman yang mau meminjamkan uang setidaknya dua puluh ribu rupiah. 

Kondisi saat ini: Lupa bawa dompet. Perut sudah mengeluarkan nada bariton disertai tenor dengan ketukan satu per delapan. Kalau harus cari teman yang paling dekat, rasanya aku tidak sanggup. Ibarat telepon genggam, baterenya cuma tersisa satu setrip dan berkedip dengan mesra setiap per setengah detik. 

Sungguh dilema...