Jumat, 20 April 2012

Lagi-lagi Sepeda Motor


Ngomongin tentang ulah pengendara sepeda motor memang gak pernah ada habisnya. Kemarin saya nyaris celaka gara-gara ulah sepeda motor setelah turun dari angkutan umum.

Ceritanya saya dan sejumlah penumpang baru saja turun dari angkutan kota jurusan Bekasi-Cikarang. Tumben, sopir angkutan yang saya tumpangi adalah tipe pengendara yang ngerti sopan santun di jalan raya. dia tidak ngetem di persimpangan jalan dan ogah kebut-kebutan. Maklum, mungkin karena sopirnya udah aki-aki kali yak. Wallahu...

Disingkat biar padat, saat lalu lintas sedang padat, saya dan sejumlah penumpang minta pada sang sopir angkot untuk diberhentikan di depan Pasar Induk Cibitung. Sang sopir pun menghentikan kendaraannya di tepi jalan. Tiga orang turun lebih dahulu, baru setelah itu saya turun terakhir. Tiba-tiba ada sepeda motor keluar dari balik mobil di belakang angkutan yang saya tumpangi. Sepeda motor itu melaju kencang dan kala itu sejumlah orang yang ada di tepi jalan berteriak, "Awas pak!" Saya reflek mengalihkan pandangan ke sebelah kiri. Namun terlambat, ban bagian depan sepeda motor itu sudah menghajar kaki kiri saya. Seketika itu saya jatuh terduduk dengan punggung menghantam trotoar jalan. Believe me, its hurt...!

Untunglah sepeda motor  berhenti, jadi saya tidak tergilas roda jahatnya itu. beberapa orang yang ada disana membantu saya berdiri. Belum sempat saya berdiri tegak, sang pengendara sepeda motor tiba-tiba berteriak menghardik saya. "Gila, mau mati  luh!" 

Mendengar ucapan pengendara sepeda motor itu, kontan emosi saya naik sampai ke ubun-ubun. Tanpa memperdulikan sakit karena jatuh tadi, saya cepat menghampiri dan langsung menarik lepas helm si pengendara motor itu. Tanpa basa-basi (maklum esmosi), saya pukul bahunya dengan helm yang tadi saya rampas. "ANJ**NG! Lu yang mati bang**t!"

Rupanya beberapa orang yang ada di tepi jalan pun ikut terpancing emosi. Mereka menghampiri si pengendara motor dan tanpa basa-basi ikut melayangkan tinju dan tendangan pamungkas. Si pengendara motor pun jatuh terguling bersama motornya. Terdengar dia berteriak meminta ampun. Namun tampaknya tidak ada yang menggubris. Baru setelah seorang anggota polisi datang dan melerai, tinju-tinju itu bisa terhenti.

Si pengendara motor itu pun harus pasrah digelandang polisi ke pos yang tak jauh dari TKP. Saya pun diminta ikut untuk dimintai keterangan. Di pos polisi, sang pengendara motor itu meminta maaf dan memohon untuk tidak membawa kasus ini ke meja hijau. Saya bisa maklum alasan permintaannya itu. Zaman sekarang, kasus sekecil apapun bisa saja jadi besar! Saya pun minta maaf telah memukulnya dengan helm.

Oleh polisi, saya dimintai keterangan dan menandatangani surat berita acara. Isinya, saya telah menjadi korban kecelakaan lalu lintas, namun hanya mendapat luka ringan. Setelah itu, saya pun diperbolehkan pergi. Entah apa yang akan terjadi dengan si pengendara motor itu. Namun saya yakin, pastinya tidak akan menyenangkan. lucunya, hati saya separuh senang dan setengah menyesal. Gak jelas kenapa.

 Jangan ugal-ugalan di jalan sobat!  

Kamis, 05 April 2012

Cinta dan Doyan


Cinta? Ih apaan sih itu? Tak perlu dijabarkan pun semua orang toh pastinya sudah mengerti apa itu cinta. Jangankan dewasa atau remaja, bocah yang baru duduk di bangku sekolah dasar juga pasti tahu, bahkan mungkin pernah merasakan.

Cinta tuh katanya perasaan kasih dan sayang yang tulus kepada seseorang atau sesuatu. Intinya, cinta bisa jadi level yang lebih tinggi dari suka (menyukai). Kok aneh ya? Lalu apa bedanya cinta dengan doyan. Doyan juga kan bisa didefinisikan lebih banyak kadarnya dibandingkan suka. Cinta=Doyan? Mungkin saja! Toh kalau doyan, bisa saja berkorban sama seperti si cinta. Jadi, apakah doyan lebih tinggi dari cinta? Ah saya kurang tahu tuh...

Hanya saja semua pasti setuju, kata doyan lebih banyak punya makna lebih negatif dibanding cinta. Coba bandingkan dua kata berikut:

Saya cinta rupiah.

Saya doyan rupiah.

Anda pasti setuju kalau Cinta lebih memiliki makna denotatif dibandingkan doyan. Tapi, mari kita telaah hal berikut:

Kalau anda cinta, anda pasti suka. Jika anda cinta, anda pasti sayang. Jika anda sayang, pasti akan berkorban. Anda pasti akan sakit hati jika cinta anda tidak dihadapan mata. Anda pasti marah kalau cinta anda hilang dan akan mencarinya.

Kalau anda doyan, pasti nya suka banget. Jika anda doyan anda pasti sayang akan kedoyanan anda. Demi kedoyanan, anda pasti berkorban. Jika kedoyanan anda tak ada dihadapan mata, anda pasti mencarinya atau mungkin kesal.

Nah, kok dari sudut aksi-reaksi tak jauh berbeda ya?

Mungkin akan ada anggapan seperti ini: Kalau begitu, efek kehilangan dari cinta lebih sakit dibandingkan doyan. Misalkan, kalau mencintai seorang gadis, tentunya perasaan akan galau dan tak menentu. kalau doyan kan tak ada efek seperti itu. Heiiit... tahan dulu pikiran anda sampai disitu.

Baiklah, mari kita bandingkan cinta kekasih dengan doyan judi. Kok enggak dibandingkan dengan doyan kekasih sih? Soalnya itu tidak umum, makanya kita bandingkan dengan hal yang biasa kita dengar dulu. Toh efeknya sama saja.

Sehari tidak bertemu kekasih tercinta, anda akan galau. Sehari saja kedoyanan judi tidak terpenuhi, pikiran pasti tak menentu. Kalau tak bertemu kekasih rasanya wajahnya selalu terbayang. Kalau sehari enggak judi, pikiran melanglang buana untuk mencari rumusan nomer togel. Kalau bertemu kekasih, rasanya hati senang bukan main. Jika bertemu bandar judi pastinya girang dan langsung pasang nomer togel. Menunggu pacar rasanya berdebar. Menunggu pengumuman nomer togel, kok ya tak bisa tidur? Kalau ditinggalkan kekasih sakitnya minta ampun. Kalau nomer judi togel tidak tembus, hawanya pengen marah-marah dan kesal.

Jika demikian toh rasanya kok cinta dan doyan itu sama saja ya? Rasanya membosankan kalau kita menyatakan perasaan hati lalu bilang aku cinta padamu! Jadi, katakanlah mulai sekarang: Aku doyan padamu! Jadi gak pasaran, ya tooh...

Komunikatif vs Tata Bahasa Baku


Beberapa bulan yang lalu saya dikritik oleh seorang guru bahasa Indonesia. Kritik itu dilontarkan ketika setelah saya tampil berbicara dalam sebuah forum komunitas. Begini katanya:

"Saudara harusnya belajar lagi tata bahasa yang baik dan benar. Saya pikir cara bertutur anda sangat represif, namun sangat disayangkan sekali tidak baku. Anda harusnya belajar lagi retorika dan tata bahasa!" Demikian saran beliau. Saya pun berterima kasih atas saran tersebut.


Tak berapa lama berselang, kami bertemu lagi di acara komunitas yang sama. Kebetulan kami berdua, sama-sama jadi pembicara. Setelah acara selesai, tiba-tiba beliau marah pada saya. "Jujur saja, saya kecewa pada anda. Saya sudah kasih anda saran baik-baik. Tapi kenapa pula anda tidak mendengarkan? Bicara seenaknya dengan bahasa prokem dicampur bahasa daerah seperti itu malah menurunkan citra diri anda. Anda harusnya malu mas!" demikian katanya sambil mengangkat telunjuknya didepan wajah saya.

Ih, hati saya kueseeeeel bukan main. Andaikan ada air diguyur ke kepala, pasti langsung berasap kayak penggorengan baru diturunin dari atas kompor. Jujur saja, saya memang kurang taat pada tata bahasa. Hal ini disebabkan saya besar di lingkungan komunikasi, bukan di lingkungan sastra. Buat saya, apapun bahasanya, asalkan kena dan tepat sasaran sih sah-sah saja tuh. Asalkan komunikator (pembicara) ngomong ke komunikan (pendengar) dan si komunikan ngudeng alias ngerti, otomatis kaidah komunikasi terpenuhi. Baik secara informasi, maupun secara empati. Dan bahasa empati sulit dimengerti atau disampaikan kalau medianya baku!

Jujur saja deh, berapa orang sih disini yang curhat dengan bahasa yang baku? Curhat pake EYD? ah, engga adda kaleee... Memang sih ada forum yang mengharuskan kita berbicara dengan bahasa baku. Jujur-jujuran yuk, pasti deh kebanyakan tidak menyimak alias hawanya pengen tidur. kaidah komunikasi terpenuhi? Ah, paling cuma beberapa gelintir orang saja. Sisanya? Zzzzzz...zzzz...

Andaikan saja, Presiden Esbeye mau ngomong dengan bahasa prokem dan acakadut seperti sayah, pastinya rakyat akan lebih memahami perasaan beliau (mungkin). Secara , beliau kan seneng curhat. Pasti bakal terdengar lucu, tapi gak papa tuh. Kita butuh bahasa-bahasa urakan seperti itu dari pemimpin kita. Setidaknya jadi enggak ada jarak antara rakyat dan pemimpin.

Coba ya, kalau sosialisasi kenaikan BBM, bilangnya kayak gini:

"Sori bener nih bapak-bapak, ibu-ibu sekalian. kulo bingung iki, tapi yo wis kudu tak bilangi wae. Sebenernya kagak enak nih kita, tapi pegimane atuh. kayaknye harga bensin emang kudu naek inih. Soalnye kita udah nalangin buat bensin kebanyakan pak! Kudunye, nih duit buat bensin kan bisa buat anak-anak pade sekole, atawa buat usaha laen biar kite semua pada maju... Kayaknye sih kagak ada jalan laen, jadi talangan buat bengsin kite kurangin.. maaf bener nih. Tapi yee gimana lagih atuh. buat kita-kita orang juga pan?" Kok jadi bahasa betawi ya?

Ada juga yang bilang begini, bahasa yang santun adalah ciri orang berilmu. Ah, santun kan enggak harus bahasa Indonesia baku toh. Sama seperti halnya muslim yang baik tak harus jadi orang Arab yang baik. Menyalahi sumpah pemuda? Berbahasa satu, bahasa Indonesia? Kan enggak disebut Bahasa Indonesia Baku? Jadi enggak menyalahi juga atuh. Prokem dan bahasa alay juga kebanyakan bahasa Indonesia. Biarpun ternyata bahasa Inggrisnya kentel juga. So what getto loooo...? Kesannya jadi kayak Singlish alias Singaporean English. Hohohoho...

Ada juga yang bilang: Kenapa juga harus ngikutin kaidah ya? Kok bukan kaidah sih yang mengikuti kita. Sayangnya memang kaidah selalu mengikuti perkembangan zaman. Buktinya makin banyak kata serapan baru. Tapi si kaidah dan tata bahasa jalannya lambat seperti siput. Dengan kata lain kalau diikutin dari belakang malah bikin telmi alias telat mikir.

Kok gitu?

Bodo amat ah.. notes-notes gue! Ngomong opo kek lambe-lambe dewe... Karep-karep ku kok. Sopo arep protes?

Hasilnya? Soimah Pancawati lebih populer dan diterima masyarakat dibandingkan Esbeye!