Minggu, 11 Maret 2012

Sahabat Aneh yang Baik

27 Februari 2012

Terakhir begadang bersama sahabat saya Yaya adalah malam yang tak pernah terlupakan. Bukan sekadar nongkrong karena iseng, Yaya yang memiliki toko reparasi dan jual beli komputer meminta bantuan saya untuk membetulkan sejumlah CPU milik pelanggannya. Saya tentu saja bersedia, karena imbalannya lumayan untuk nambah-nambah uang saku. Karenanya, saya datang ke toko komputer miliknya yang juga merangkap sebagai warnet.


28 Februari 2012

Sekitar jam 19.00 WIB, vespa yang saya kendarai parkir dihalaman ruko. baru saja datang, sudah disambut oleh gurauan Pakde Warman dan Johan yang kebetulan sedang ada di beranda toko. "Si Jalu gak ngadat tuh di jalan?" Gurau Pakde Warman. Si Jalu adalah nama yang Vespa jenis P150X milik saya. Sekadar tambahan Jalu sendiri singkatan dari 'Jaman Dulu.'

"Gak dong Pakde, Si Jalu mah gak ada matinya!" Demikian jawab saya.

"Asal sampai sini jangan tinggal setang saja bang, onderdilnya berantakan di belakang. Ha ha ha..." Komen si Johan yang langsung saya balas dengan pose mulut manyun.

"Bos komputer udah nunggu tuh," tambah Pakde Warman.

"Siap!" Saya pun masuk ke dalam toko.

Suasana toko komputer Yaya saat itu lebih mirip kapal pecah. Dus-dus berserakan di lantai. Isinya? Apalagi kalau bukan spare part komputer. "Nih toko apa isi kapal Titanic?" Komentar saya pada Yaya yang tampaknya sibuk dengan kertas catatan di tangannya.

"Eh Kang Cepod, lagi data barang nih!" Ujarnya sambil garuk-garuk kepala dengan pensil.

"Jatah gawean gue yang mana Ya?"

"Anu kang, tolong cek motherboard sekenan tuh. Udah saya tumpuk deket meja!" Ujarnya sambil menunjuk dua dus besar tepat disamping meja reparasi. Lagi-lagi dengan pensil.

"Ok!"

Setelah menggantung jaket, menyimpan tas dan buang air besar, barulah saya mengerjakan pekerjaan bagian saya. Saat itu Si Johan sudah sibuk memindah-mindahkan sejumlah barang. Yaya sibuk dengan catatannya sambil sesekali menghitung sejumlah barang tertentu. Sementara Pakde Warman membuatkan kopi untuk kami, setelahnya malah mengomentari berita di televisi mengenai kasus korupsi. Yang jelas, semua sibuk.

Selesai mendata barang, Yaya turun membantu pekerjaan saya. Si Johan sibuk main catur dengan pakde sambel ngobrol ngalor-ngidul.

29 Februari 2012

Baru pukul 03.00 pagi, kami bersama sejenak. Itu pun terpicu gara-gara ada tukang nasi goreng lewat. Sambil makan nasi goreng bersama kami duduk di beranda toko. Suasana jalan saat itu memang sepi. Jadi bisa ngobrol santai. Pasalnya kalau siang hari, jalan di depan toko lumayan rame, jadi ngobrol pun harus agak berteriak.

Obrolan kami berempat seperti biasa selalu penuh canda. Hingga entah bagaimana, berujung pada obrolan serius. Mulanya sih ngobrolin cita-cita yang jauh dari pekerjaan sekarang. Pakde Warman bercerita, ketika kecil bercita-cita menjadi penyanyi atau seniman seperti idolanya: Said Effendi dan Sam Saimun.

"Entah bagaimana saya kok malah jadi bekerja di pabrik kopi. Padahal kalau saya jadi penyanyi, saya pasti lebih terkenal dibanding Broery!" cerita Pakde yang kami timpali dengan tawa.

"Wah Pakde, kalau jadi artis, manapula ketemu saya dan main catur!" ujar Johan terkekeh.

"Hahaha, bisa aja kamu Jo. Kamu sendiri gimana?" Tanya pakde.

"Waduh bagaimana ya. Tapi janji jangan tertawa kalian ya!" Ujar Johan sambil mendelik ke arah saya. Maklum, saya adalah orang yang paling sering beradu ejekan dengan mahluk asli Medan itu.

"Cepetan napa Jo!" Saya sambil menyeruput teh manis hangat.

"Aku ketika kecil ingin kali jadi pengacara seperti ...." Belum selesai dia bicara, kami bertiga sudah terkikik.

"Heh macam mana malah ketawa sih? Aneh ya?"

"Bukan aneh Jo, orang Batak udah banyak yang jadi pengacara tauk!" kata si Yaya.

"Tau ah, pasaran bener sih!" tambah saya yang di balas dengan lemparan kertas tissue makan bekas pakai oleh si Johan.

"Gapapa Jo, bagus kok!" Pakde menepuk bahu Johan.

"Ingin kali aku jadi pengacara terkenal macamnya Adnan Buyung itu pak! Jadi pembela kebenaran lah, hahaha."

"Pembela kebetulan kali?" ejek saya lagi.

"Pengen kali sekolah hukum, soalnya zaman sekolah dulu sering dihukum. Hahaha," Johan ngakak.

"Walah pengacara kok sekolahnya banyak dihukum. Bandel kali ya? Kalau Yaya pengennya apa?" Tanya Pakde. Yaya menarik napas sejenak. "Tak ada pekerjaan yang saya cita-citakan Pakde." Jawabnya.

"Lho kok macam begitu?" Johan garuk-garuk kepala."

"Bukan gitu Jo. Pekerjaan apapun gak masalah deh. Yang jelas cuma pengen kerja apa saja asal penghasilannya halal. Nikah dan punya istri yang baek dan punya anak. Meninggal dan punya warisan untuk anak cucu!" Ujar Yaya dengan wajah serius.

"Enteng benar cita-cita kau!" kata Johan sambil menyalakan sebatang rokok.

"Salah Jo! itu malah sulit!" Sanggah saya.

"Kok bisa? Semua orang kan bisa seperti itu." Si Jo mengerutkan dahi.

"Wah Jo kita gak bisa liat masa depan dong! Kita gak bakal tau Jo. Apa bisa menikah atau tidak. Kita juga gak bisa tahu, bakal punya anak atau tidak. Kita gak tahu, bakal punya harta untuk diwarisin apa enggak. Malah gak akan pernah tahu, meninggal di usia tua atau muda!" Terang saya yang dijawab anggukan oleh Pakde Warman.

"Saya setuju Kang, bisa dibilang cita-cita mas Yaya ini seperti sepertine menggambar bebas di kertas takdir. Tapi takdir kan digariskan oleh hukum sebab akibat yang manusia perbuat. Ibarat lukisan van Gogh, sesaa seperti lukisan biasa, namun ternyata bernilai lebih dari yang manusia bayangkan." Jelas Pakde Warman.

"Ah pakde, pakai bahasa yang tidak bikin kepala pening dong!" Johan garuk-garuk kepala lagi.

"Bukan gitu Jo, menurut gue. Kehidupan ideal buat gua pribadi tuh kayak gitu. Makanya jadi cita-cita. Eh kok malah jadi ngebahas cita-cita gua sih?" Yaya kini mulai menepuki nyamuk yang mendarat di tubuhnya.

"Habis gak umum bos!" ungkap Johan terkekeh.

"Yaa gitu deh, kalau Akang?" Tanya Yaya sambil menoleh pada saya.

"Cita-cita sekarang apa waktu dulu kecil?"

"Waduh, curang! Kok dua sih?" Protes Johan.

"Biarin!" Saya mencibir si Batak itu.

"Waktu kecil dulu deh, sampeyan pengen opo?" tanya Pakde.

"Dulu waktu kecil, saya pengen banget punya restaurant atau kafe sendiri."

"Kalau sekarang Kang?" Tanya Yaya.

Saya menarik napas sejenak. Sulit sekali mengatakan hal ini dihadapan sahabat-sahabat dekat saya itu.

"Wooooi, naek ojek dong biar cepet!" Ujar Yaya tak sabar.

"Kalau sekarang, cuma berharap jangan mati dulu sebelum bisa membahagiakan orang yang saya sayang!" Ungkap saya serius.

"Hey Kang, jangan pesimis gitu dong. Biarpun punya penyakit jan...." belum selesai Johan bicara Yaya sudah menimpalinya.

"Kalau saya pikir sih umur di tangan Tuhan Kang. Kita gak akan bisa tahu kok. Bisa jadi malah si Johan duluan, atau saya. Hahaha..." Ujar Yaya tertawa. Mungkin untuk mencairkan suasana.

"Setuju tuh mas. Tapi menurut saya pribadi, Akang kita ini manusia tangguh yang menertawakan dunia. Jujur saya salut sama Mas Yaya dan Kang Cepod. Pemikiran kalian ndak cocok untuk zaman ini. Saya pribadi seumuran sampeyan ndak kepikiran sejauh itu lho." Kata-kata Pakde ini saya anggap sebagai pujian tersendiri walau jujur saja, rasanya seperti ditaksir terlalu tinggi. Yaya mengernyitkan dahi, saya tahu, mungkin dia berpikir hal yang sama seperti saya.

Usai mengobrol dan bercanda. Pakde Warman pamit pulang. Rumahnya kebetulan bersebelahan dengan Toko komputer Yaya. Si Johan sendiri malah selonjoran di kursi, dan tak lama ngorok sambil dibuai mimpi. Hanya saya dan Yaya yang masih meneruskan pekerjaan reparasi. Biar sibuk dengan pekerjaan masing-masing, kami ngobrol santai sekadar menghilangkan ngantuk.

Saat itu tiba-tiba Yaya mengajukan pertanyaan serius. "Eh, menurut akang saya orangnya aneh enggak sih?"

Saya menarik alis ke atas, lalu menyimpan solder uap yang ada di tangan saya. "Emang kenapa?"

"Ah enggak cuma pengen tahu!" Ujar Yaya menatap saya serius.

"Apa Ya? Yang jelas aneh atau tidak, lu temen gua yang baik kok" Jawab saya.

"Masa sih?" Si Yaya tertawa.

"Kalau gak percaya belah aja dada si Johan!" Tambah saya. Si Yaya tertawa terbahak.

"Ngapain dada si Johan pake dibelah, mendingan belah dada ayam, terus digoreng. kan enak tuh."

"Lagian kenapa lu nanya kayak mau nembak cewek aja. Maaf gua gak homo! Lagian gua udah punya istri!" ungkap saya.

"Makasih kalau serius mah. Akang juga sohib aneh yang baik. Hahaha..."

Kami pun melanjutkan pekerjaan kami. Setelah shalat subuh, Yaya sudah meluruskan tubuhnya di atas alas kardus. Saya sendiri juga melakukan hal yang sama. Tas yang saya bawa sengaja saya jadikan bantal.

"Kang..!" Panggil Yaya.

"Hmmm... Berisik ah! molor aja deh!"

"Enggak, kalau di kira-kira yang meninggal duluan saya apa Akang ya?" Tanya Yaya lagi.

"Ngapain dipikirin sih, itu mah urusan gusti Allah laah." Ujar saya.

"Ah enggak sih cuma penasaran." Tambah Yaya. Saya tak lagi mendengar pertanyaan Yaya yang lain, saya sudah terlelap.

11 Maret 2012

Suasana Taman pemakaman umum di daerah Perwira Bekasi dipenuhi oleh sejumlah orang berwajah muram dan sedih. Saya juga disana, berdiri memandangi gundukan tanah dan nisan di areal pemakaman. Di Nisan tersebut tertulis: Innalillahi wa inna Ilaihi raaji'uun. Yahya Suryapranata, Garut 17 Juli 1980 - Bekasi 11 Maret 2012.

Disamping saya, Johan menitikkan air mata. Kemudian dia menyalami sejumlah kenalan dan sahabat. Tepat disebelah saya Pakde Warman, dia menepuk bahu saya sambil
bibirnya berkomat-kamit. Mungkin dia sedang berdoa.

"Saya gak pernah nyangka lo Kang. Mas Yaya meninggal secepet ini. Kecelakaan motor lagi. Qodho dan Qodarnya Allah." Ujar Pakde Warman. Saya hanya diam saja. Perlahan mata saya terasa panas dan berair. Dalam hati saya mengucapkan doa. Semoga Allah memberikan tempat yang baik bagi Yaya.

Sebelum pergi, kata hati berbisik lirih. "Selamat tinggal sahabat baik yang aneh! Mungkin kita akan bertemu lagi. Mungkin esok atau entah kapan!"



In Memoriam: Yahya Suryapranata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar